Lunturnya Nilai-nilai Dasar Juventus yang Selama Ini Dikenal
Lunasportdaily– Sebagai salah satu klub tersukses di dunia, Juventus memiliki reputasi besar yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai kuat: kehormatan, kerja keras, ketangguhan, dan kemenangan dengan cara yang terhormat. Filosofi “Vincere non è importante, è l’unica cosa che conta” — “Menang bukanlah segalanya, itu satu-satunya yang penting” — menjadi napas klub asal Turin ini. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, bayang-bayang kejayaan itu mulai pudar, bukan hanya karena hasil di lapangan, tetapi juga karena indikasi lunturnya nilai-nilai dasar yang selama ini menjadi identitas Juventus.
Krisis Etika dan Kasus Hukum
Salah satu momen paling mencoreng nama besar Juventus adalah keterlibatan mereka dalam skandal manipulasi keuangan dan laporan palsu, terutama dalam kasus “Prisma” yang mencuat pada 2022-2023. Klub dituduh memalsukan laporan keuangan terkait transfer pemain dan pembayaran gaji untuk menghindari tekanan finansial selama pandemi. Akibatnya, Juventus menerima hukuman pengurangan poin di Serie A, serta sanksi tambahan dari UEFA berupa larangan tampil di kompetisi Eropa selama satu musim.
Ini bukan kali pertama Juventus tersangkut kasus hukum besar. Dua dekade sebelumnya, mereka sudah pernah terlibat dalam skandal Calciopoli (2006) yang membuat mereka terdegradasi ke Serie B. Meskipun sempat bangkit dan menegakkan kembali reputasi mereka, skandal terbaru ini menunjukkan bahwa pelajaran masa lalu belum sepenuhnya diinternalisasi oleh manajemen klub.
Identitas Juventus yang Mulai Samar
Di masa keemasan, Juventus dikenal sebagai klub yang selalu berjuang keras dengan prinsip “fino alla fine” — berjuang hingga detik terakhir. Mereka dihormati, bahkan oleh rivalnya, karena organisasi yang rapi, pengelolaan pemain yang profesional, dan mentalitas pantang menyerah. Namun, setelah era Andrea Agnelli berakhir dan munculnya berbagai kekacauan internal, identitas itu mulai memudar.
Skuad Juventus sekarang sering terlihat kehilangan karakter tersebut. Tidak lagi ada sosok seperti Gianluigi Buffon, Giorgio Chiellini, atau Alessandro Del Piero yang menjadi simbol nilai-nilai luhur klub. Pemain muda yang mengisi skuad saat ini, meski bertalenta, tampak belum mampu menyerap mentalitas Juventus sepenuhnya.
Bahkan keputusan-keputusan transfer yang dibuat belakangan ini lebih banyak dipandang oportunistik daripada strategis. Juventus yang dulu dikenal hemat dan cerdas dalam belanja pemain, kini justru terjebak dalam pembelian mahal yang kadang tidak sejalan dengan kebutuhan tim.
Mentalitas Juara yang Luntur
Gentile menyoroti bagaimana mentalitas Juventus saat ini jauh dari standar kejayaan masa lalu. “Juventus adalah tim yang unik karena mentalitas kemenangannya. Ketika saya di sana, finis di posisi kedua saja sudah dianggap tragedi. Sekarang, mereka berusaha bertahan di posisi keempat,” katanya getir.
Menurutnya, Juventus seharusnya menjadi penantang Scudetto, bukan justru tertinggal jauh dari puncak klasemen. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana ambisi klub seolah mengendur dalam beberapa tahun terakhir.
Tak heran, kekecewaan ini tak hanya dirasakan oleh Gentile. Dia menuturkan, “Ada ekspektasi besar musim panas lalu, tapi itu perlahan menghilang. Saya bukan satu-satunya yang berpikir begitu. Banyak fans yang saya temui sehari-hari merasakan hal yang sama.”
Salah Langkah di Bursa Transfer
Kedatangan Igor Tudor menggantikan Thiago Motta sejauh ini belum membuahkan perubahan besar. Gentile menilai, masalah Juventus bukan hanya soal pelatih, melainkan juga soal pilihan pemain di bursa transfer.
“Pelatih memang selalu jadi pihak pertama yang kena imbas, jadi wajar saja Thiago Motta dipecat. Dia mampu memadukan sepak bola yang bagus dengan hasil di Bologna, tapi Juventus adalah klub yang berbeda. Di sini, Anda harus menang,” tegas Gentile.
Dia juga menyoroti kesalahan dalam rekrutmen pemain. “Ada banyak kesalahan di pasar transfer. Saya tidak suka menyebut nama, tapi beberapa jelas terlihat oleh semua orang,” imbuhnya.
Harapan Baru: Conte dan Chiellini
Di tengah kekacauan ini, Gentile percaya bahwa kunci untuk mengembalikan identitas Juventus adalah menghadirkan orang-orang yang memahami jiwa klub. “Antonio (Conte) adalah seorang pemenang dan dia mengenal Juventus seperti sedikit orang lain, jadi kembalinya dia akan sangat positif. Selalu berguna memiliki orang yang tahu cara menjelaskan kepada para pemain di mana mereka berada dan jersey apa yang mereka kenakan,” ujarnya.
Bukan hanya Conte, Gentile juga menyebut nama lain yang layak kembali ke Juventus. “Giorgio Chiellini juga memiliki DNA Juventus dan pantas menjadi bagian dari klub ini sekarang. Dia adalah salah satu bek hebat terakhir. Sekarang, Anda tidak lagi melihat orang menjaga lawan dengan benar. Semua hanya ingin bek tengah yang memulai serangan,” pungkas Gentile.
Pemain-pemain muda seperti Fabio Miretti, Kenan Yildiz, dan Nicolo Fagioli — meski sempat terganjal kasus — diharapkan dapat membawa semangat baru yang lebih murni dan dekat dengan tradisi Juventus. Jika dikombinasikan dengan kepemimpinan berpengalaman di lapangan, bukan tidak mungkin Juventus kembali membangun identitas kuatnya.
Namun, untuk itu, diperlukan komitmen jangka panjang, kesabaran, dan yang paling penting: kembali ke prinsip dasar. Juventus perlu mengingat bahwa kejayaan sejati tidak hanya diukur dari jumlah trofi, tetapi dari cara mereka meraihnya — dengan integritas, kerja keras, dan rasa hormat terhadap olahraga itu sendiri.